Kita Hanya Sebentar

Saturday, May 05, 2018

Berbicara tentang mencari kesenangan bisa di gambarkan dengan pergi menjelajah alam untuk mendaki gunung, merasakan lembutnya desir pantai atau pergi ke suatu konser musik yang kita sukai. Tentu saja itu merupakan sebuah kesenangan yang bisa kita temukan dan akupun sangat menyukai hal tersebut.

Tapi berbincang bersama-sama di satu meja, melakukan obrolan hangat dan berujung membawa kita tenggelam dalam tawa yang sangat lepas---sampai membuat otot pipi-mu pegal seperti saat ini. Bagiku adalah sebuah kesenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang. 

Suatu kesenangan yang lebih menaikkan mood booster dan bagiku keseruan ini lebih berkesan. Moment kesenangan yang mungkin akan kau rindukan ketika kita sudah tua dan memiliki banyak uang nanti.
Momen kebersamaan seperti ini justru yang paling terkenang dibenakku sekarang—ataupun nanti ketika ku sudah menjadi lelaki keriput berkacamata.

Kata salah satu tokoh penyuka literasi, hiduplah seperti secangkir kopi tetap dicintai tanpa menyembunykan pahitnya. But meanwhile some people beating their head against the wall, struggle with the problem in their life trying to solve it—just to look better for other person. Because they don’t wanna to look bitter.

Salah satu publik figur favorit ku juga bilang; the love you take is equals to the love you make.. tapi masih ada yang mencintai seseorang selama bertahun-tahun dan berujung perpisahan dan pengkhianatan.

Ya seperti itulah kehidupan, adil katanya--- hingga munculah pemahaman bahwa keseimbangan merupakan kenikmatan dalam hidup. Seperti memaknai manis dan pahitnya tiap fase kehidupan.

Lalu berikutnya yang kau lakukan adalah berdoa...
Doa apa yang bisa kau panjatkan untuk hari ini..
Aku selalu berharap untuk bisa tumbuh menjadi manusia dengan pemahaman dan pribadi yang baik.

Janganlah sampai aku tumbuh menjadi pribadi yang konstruksi berfikirnya seperti Felix Siauw, tapi jadikanlah aku individu dengan konstruksi berfikir seperti Gusmus—yang mencintai kemajemukkan dan tidak meng-generalisasi keburukan satu orang dalam suatu golongan.

Jangan pula aku menjadi si genius Zakir Naik dan segala pengetahuannya tentang berbagai kitab---namun selalu ber-fallacy ketika argumennya sudah terdesak. Tapi tetapkanlah aku menjadi pribadi yang memiliki pemahaman seperti Tenzin Gyatso ( Dalai Lama), seorang yang mencintai persatuan dan menjadikan cinta dan belas kasih sebagai pemahaman dalam memandang kehidupan.

Jangan sampai pula aku seperti musisi pelantun lagu cinta kharismatik nan menyayat hati saat didengar--- tapi dalam kisah cintanya sendiri menduakan kekasih hatinya ataupun melakukan poligami. 
Dalam memandang hal asmara, tetapkanlah aku menjadi individu seperti Paul Hewson aka Bono--- membuat lagu yang menjatuhkan ratusan hati wanita, tapi tetap mencintai satu wanita dalam menjalani kisah cintanya.

Doa di hari ini, tetapkanlah pikiran yang selalu melangit dengan hatiku yang terus membumi.

Kebahagiaan sesederhana bercanda dan mengeluarkan lawakan yang membuat ibuku tertawa di kursi sofa sabtu pagi tadi, memakan roti tawar buatannya, sembari membalas pesan singkat pada kekasih dan teman-teman di gadget-ku.

Lalu kebahagiaan sesederhana tertawa membaca tweetannya Handoko Tjung, menyapa teman yang ada di grup whatsapp--- walaupun aku tidak pernah membaca isi pembicaraan didalamnya.

Kebahagiaan juga sesimple bisa mendengarkan lagu berjudul Clair ciptaan Gilbert O’Sullivan ini.

Salah satu penulis di negeri ini pernah berkata, menikmati hidup itu seperti secangkir kopi--- bukan tatakannya yang membuat berisi, bukan cangkirnya yang bernilai seni tinggi, tetapi kenikmatan tiap seruputannya yang berarti.
Ehh, tapi aku tidak begitu suka minum kopi—masalah asam lambungku ini. Tidak keren



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Search This Blog