Democracies Responding to Terrorism
Friday, February 07, 2020
Sudah lama aku tidak mengurusi blog ini, hectic-nya menjadi budak korporat
merenggut kebahagiaan kecil gabutku menulis disini--- padahal pengen banget
bisa terus intens menuangkan opini yang ada di kepala disini.
Kekalahan ISIS oleh Pasukan
Demokratik Suriah (SDF) Maret
tahun lalu, menimbulkan dilema dan polemik untuk berbagai negara begitu juga
Indonesia. Dilema tersebut adalah
bagaimana harus menyikapi masyarakat eks Pro-ISIS yang ingin kembali ke negaranya masing-masing.
Setelah kekalahan ISIS puluhan ribu anggota mereka yang selamat sekarang berada
di kamp pengungsian Suriah, Puluhan ribu yang 80% adalah warga negara asing.
Mantan anggota organisasi yang dulu menjadi musuh dunia dan menebar teror di
negara orang ini---ingin bisa kembali ke negaranya masing-masing, pantaskan
mereka diterima di negaranya?
Suriah dipusingkan negara yang tidak mau menerima eks-ISIS, beberapa negara
menolak warga eks-ISIS tersebut kembali kenegaranya dengan alasan keamanan.
Bagaimana tidak setelah mereka tidak mengakui negaranya dengan membakar
passportnya, sekarang mereka ingin kembali ke negaranya dengan membawa ideologi
terorisme-nya.
Sama dengan negara Eropa lainnya yang menolak untuk menerima kembali eks-anggota
ISIS tersebut demi keamanan negara, begitu pula yang terjadi di Indonesia.
Negeri ini sontak ribut beberapa politisi menyarankan untuk memulangkan WNI
mantan anggota ISIS tersebut, dan menyalahkan pemimpin pemerintahan sebagai
kegagalan menjaga hak-hak rakyat WNI disana. Ada sekitar 600 WNI disana, dan
pemerintahan Indonesia masih mempertimbangkan baik-buruknya jika 600 WNI eks-anggota
ISIS tersebut jika kembali ke Indonesia.
Rasa Kemanusiaan
Banyak pihak yang beropini untuk menempatkan rasa kemanusiaan kepada WNI eksISIS tersebut, menyalahkan kepala pemerintahan tidak bersikap
bijak karena melanggar hak mereka sebagai WNI. Selalu berbicara mengenai hak-hak mereka, lalu
bagaimana dengan kewajiban mereka yang seharusnya mereka lakukan? Menjadi warga
yang setia dan cinta terhadap negarnya sendiri. Mereka punya cita-cita sendiri
berdasarkan ideologi mereka yang berbeda dengan pancasila, akibat kekalahan
yang diterima oleh ISIS apakah cita-cita mereka sekarang sudah berubah? Kalau Berbicara
soal hak-hak terus, hak sebagai kepala pemerintahannya juga untuk menjaga
ketahanan negara dari ancaman virus terorisme yang bisa menyebar—serta jadi
kewajiban mereka mendengar pendapat masyarakat disini yang menolak kehadiran
mereka.
Kehilangan Kewarganegaraan
Sekitar 600 WNI lebih yang bergabung dengan aksi terorisme ISIS atau bisa
digolongkan FTF (Foreign Terorist Fighter)
seharusnya sudah kehilangan haknya sebagai warga negaranya menurut sebagain
pendapat pejabat publik. Menurut UU tersebut yang bisa menghilangkan
kewarganegaraan Indonesia adalah karena
mereka terlibat pertempuran untuk membela negara lain, yang jadi masalah
sekarang adalah keabsurdan UU tentang kehilangan kewarganegaraan yang ada di
negara ini sendiri--- beberapa aktivis kemanusiaan berpendapat bahwa mereka
masih menjadi bagian WNI, karena mereka merupakan korban dari propaganda ISIS.
ISIS juga bukan suatu negara jadi isi dari UU terorisme tentang berperang
dengan negara lain tidak bisa disematkan pada mereka, mereka hanya korban dari
propaganda organisasi yang telah memakan banyak korban itu. Sedangkan dalam UU Terorisme masyarakat yang terlibat
aksi terorisme dalam ataupun diluar negeri, mendapat saksi pidana— namun para
terdakwa tersebut tidak kehilangan hak kewarganegaraanya. Adanya perbedaan
pendapat antara pejabat di pemerintahan Indonesia ini yang menjadi persoalan
pelik dan dilema yang dihadapi oleh negara yang mayoritas beragama Islam ini.
Menurut Menko Polhukan bapak Mahfud MD, “Memang tidak mudah karena berdasar prinsip konstitusi, semua warga
negara berhak untuk mendapat kewarganegaraan dan tidak boleh berstatus
stateless."
"Tetapi problemnya,
kalau mereka dipulangkan karena hak itu, ada yang khawatir itu akan jadi virus
teroris baru."
Selective Repatriation dalam hal umur untuk memulangkan WNI EksISIS ke tanah air menjadi
solusi yang dihimbau para pihak yang ingin mereka bisa kembali ke negaranya.
Jadi negara sebaiknya bisa membawa WNI sesuai kategori kelompok rentan yaitu
anak-anak dibawah 10 tahun dan para lansia, ini didasari karena anak >10
tahun kemungkinan belum terpapar paham radikalisme yang dianut ISIS berbeda
dengan mereka golongan 10 tahun keatas atau dewasa.
Deradikalisasi WNI eks-ISIS
Program deradikalisasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),
upaya menghilangkan ideologi yang sudah dianut oleh para anggota eksISIS ini
dinilai sebagai solusi ketika mereka akan kembali ke Indnesia. Namun ideologi
itu layaknya agama--pemahaman yang mereka yakini benar. Mereka merasa benar karena
itu tercantum didalam Kitab Suci mereka, ada ayat pendukungnya! Para anggota
ISIS punya keyakinan yang dilakukan ini benar selama ini dan atas perintah
Tuhan, termasuk membunuh mereka yang tidak seiman. Ini adalah contoh pemahaman
radikalisme seseorang yang berujung ekstrimisme, Indonesia sudah menghadapi
masalah radikalisme di daerah-daerah. Pelarangan dan perusakan tempat ibadah
terjadi di mana-mana, pelarangan perayaan hari raya agama lain terjadi
dibeberapa daerah yang merasa mayoritas didaerah tersebut. Ada kelompok
masyarakat yang takut salib di kuburan, ada yang membubarkan orang yang sedang
beribadah pada Tuhan, bahkan ada yang jualan ayat-ayat kitab suci agar menang
dalam pemilu. Pemahaman primitif tentang intoleransi ini saja masih belum
kelar di negara berkembang ini, ditambah harus menangani pemahaman 600 WNI yang
sudah menyimpang. Mampukah negara ini menangani mereka, dan mengubah pemahaman
radikalnya?
Gagasan kebijakan untuk membawa hanya kelompok rentan ke Indonesia juga,
sepertinya sulit dilakukan—contohnya saja bagaimana bisa memisahkan anak kecil
dari orang tuanya bagaimana dengan psikologi anak tersebut? Sedangkan mereka
yang sudah dewasa sudah terpapar ideologi radikalisme. Mau tidak mau golongan
diluar kelompok rentan harus ikut dibawa pulang, mau tidak mau progam
deradikalisasi harus dilakukan kesemua aspek golongan eksISIS tersebut. Apakah
bisa BNPT melakukan program deradikalisasi ke mereka yang jumlahnya tidak
sedikit? Mengingat program deradikalisasi juga tidak pernah efektif dan
berhasil, melihat dari sejarah yang ada, masih banyak teroris yang lolos dari
program deradikalisasi yang diterapkan oleh BNPT. Contohnya pelaku pengeboman
gereja di Surabaya tahun 2018 lalu, yang pelauknya merupakan sekeluarga ex ISIS
yang pulang dari Suriah. Program ini menurut saya masih gagal untuk menyaring
warga mana punya ideologi teroris atau tidak, perlu dikaji ulang dan
dikembangkan proses deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT ini.
Di Indonesia sendiri faktanya sudah banyak golongan radikal dan pengusung
negara khilafah anti Pancasila. Banyak pihak yang terang-terangan menolak
pancasila sebagai jati diri negara, menurut saya oknum tersebut yang seharusnya
dilakukan deradikalisasi dulu—sudah berhasil belum? Tentu saja belum. Menyamakan
pandangan tentang nilai suatu negara aja masih sulit, ini mau menambah masalah
mengubah pandangan anggota eks-ISIS yang jelas jelas berbahaya, yang jelas
intinya deRadikalisasi pasti tidak berhasil menyaring secara baik para WNI yang
jumlahnya banyak tersebut.
Apakah pemerintah siap menangani mereka semua?
Di kalangan masyarakat, timbul pro dan kontra tentang kebijakan pemerintah
Indonesia yang telah memulangkan warga Indonesia yang bergabung ke ISIS di
Suriah dan Irak. Padahal pemerintah Indonesia masih kesulitan menangani napi
terorisme yang ada di Indonesia-- saat ini, mereka tersebar di penjara Indonesia, BNPT memiliki keterbatasan dalam
melakukan penilaian dan pengawasan terhadap mereka. Secara kemampuan internal
negara ini masih kesulitan gimana ditambah 600 eksISIS tersebut. Hal ini perlu
menjadi pertimbangan pemerintah.
Beberapa waktu lalu BBC news mengeshare video tentang wawancara mereka
dengan salah satu WNI Indonesia eksISIS, intinya diwawancara tersebut mereka
menyesal tentang perbuatan mereka bergabung dengan ISIS dan ingin bisa diterima
ditanah air. Banyak pejabat tinggi negara yang mendukung kepulangan mereka,
beberapa partai juga mendukung gerakan pemulangan mereka. Bahkan Kemenag
Fachrul Razi berpendapat selain memulangkan WNI tersebut, mereka juga harus disediakan lapangan pekerjaan oleh pemerintah agar ideologi terorisme tidak muncul lagi..sangat menggelikan. Pak
Fachrul.. Nazi yang kabur dari Jerman saja tidak dicari untuk dibebaskan, tapi
untuk diadili dan dihukum seberat-beratnya.. bukan malah dikasih privillege
pekerjaan. Sebagai warga Indonesia saya sangat merasakan negara ini paling
gencar & sensitif dengan isu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam—LGBT,
halal-haram, prostitusi, perzinahan, padahal yang paling mengancam ya ini
ideologi radikal yang tumbuh di kaum mayoritasnya ini lho.
Apakah urgensi kemenag atau partai seperti PKS untuk menuntut mereka bisa
kembali semua, kalo sampe mereka dipulangkan gara-gara seiman dan merupakan
bagian kaum mayoritas negara ini mah tinggal lihat saja dampaknya 10 tahun
kedepan intoleransi yang sekarang terjadi bisa makin kacau dimasa depan.
Pemicu utama radikalisme dan berubah menjadi extrimis adalah rasa
ketidakadilan yang dirasakan. Kalupun mereka sudah bisa kembali pulang,
dapatkan masyarakat menerimanya? Apakah mereka siap menerima resiko terisolasi dari
masyarakat?
Menurutku masih banyak problem di negara ini tentang intoleransi yang kian
menjamur, mereka yang sudah menolak negaranya dan tidak suka pancasila biarkan
pergi.
Ketika sudah menjadi mayoritas,
pada hakikatnya semua kelompok atau golongan punya potensi untuk intoleran. Ajaran yang baik, belum tentu menjadi baik
ketika ada ditangan orang yang tidak baik. Jauhkan cara berfikir radikalisme, jangan pernah merasa kaummu yang
paling benar--- dan yang berbeda salah, pemikiran seperti itu adalah bibit dari seorang
teroris...Let’s make a humanity above Religion
0 comments