Negeri yang Masih Berkembang

Friday, April 13, 2018


Ada typical orang yang suka berfikir kritis terhadap suatu hal dan lainnya ada yang terlalu malas untuk membiasakan diri utntuk critical thinking. Seperti orang yang menyukai suatu public figure di media sosial, lalu public figure tersebut mengiklankan suatu produk membuat mereka yang memujanya mempercayai apa yang dikatakannya. Masalah politik juga begitu Kubu pendukung J berkata, semua yang dilakuin J itu benar, lihat saja cara ia mendidik anaknya. Dan Kubu pendukung P berkata, yang dilakuin P yang benar, lihat latar belakangnya sebagai militer yang tegas. Gak cuman soal politik sih, soal ideologi, soal agama ataupun hal yang lainnya. Sikap yang kayak gini justru bisa menimbulkan fallacy atau kesalahan berfikir, ketika sudah membenci suatu tokoh apapun yang dilakukan tokoh tersebut, pasti langsung tidak setuju atau melihat dari sisi negatifnya.



Begitu pula sebaliknya jika mencintai suatu tokoh tertentu, apapun yang dilakukan pasti terlihat baik, bahkan ketika melakukan hal yang “tidak sesuai” kepala para-para partisannya ini cenderung secara otomatis, mencari sisi positif yang bisa diambil dari tokoh yang mereka sukai dan memunculkan di benak mereka, sehingga hal negatif tentang tokoh tersebut tidak jadi mendominasi fikiran mereka. Mereka jadi cenderung subjektif melihat masalah.



Kemudian orang yang suka berfikir kritis? Yaa seharusnya mereka yang sebisa mungkin tidak subjektif. Lah terus? Yaa harus melihat dengan objektif. Menghilangkan appeal to authority, dan itu membuat orang yang berfikir kritis terlihat kadang membela kubu J dan kadang membela kubu P. Ya mereka melihatnya secara objektif, bukan melihat tokoh siapa yang mendelegasikan.





Kampanye hashtags #2019GantiPresiden contohnya yang sedang ramai di timeline twitter saya. Presiden yang kurus dan planga plongo itu harus di ganti. Orang yang tidak gagah dan bukan berlatar belakang dari militer, seperti calon kandidat lainnya itu harus diganti. Orang yang selalu melakukan pendekatan humanis ke masyarakatnya, yang menjadikan rekam jejak kerjanya sebagai kekuatannya bukan dengan menggunakan latar belakang agama, jabatan, atau rasnya... itu harus diganti.

Tentu saja tidak ada salahnya berpendapat temanku, itulah demokrasi, mau bilang bodoh, planga plongo, harus diganti kek ya sah-sah saja. Tapikan belum bisa...mana bisa presiden diganti hanya dengan hashtags di dunia twitterland? Presiden di ganti karena rakyat yang tidak menghendaki atau setidaknya muncul sosok yang lebih baik, dan memberi solusi yang efektif bagi negara kita. Yang intinya sih harus menang dalam pilpres.

Negeri yang berada dalam keterpurukan dan banyak hutang, yang diakibatkan ketidakmampuan mengelola sumber dayanya sendiri sehingga muncul pengeluaran dan pemborosan ini. Setidaknya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa mempunyai strategi bagaimana mengelola sumber daya di negara ini, memikirkan bagaimana menaikkan pendapatan ekonomi, seorang praktisi ekonomi yang bisa memecahkan masalah. Negara itu diibarkatan seperti usaha atau perusahaan, dimana tugas pemimpinnya adalah memastikan usaha tersebut tetap berjalan lancar, dan menyelesaikan problem yang ada dalam bisnisnya. Yang itu berarti negara kita membutuhkan pemimpin yang seperti seorang pebisnis, pebisnis handal yang bisa memastikan kegiatan bisnisnya terus maju dibalik keterpurukan dan utang yang terus berbunga tiap tahunya.

Yaa memang permasalahan di negara kita tidak melulu mengenai ‘angka’. Permasalahan seperti isu PKI akan bangkit, yang membuat masyarakat berada di belembung ketakutan dan pada akhirnya siapa yang bisa menciptakan rasa aman, di dalam belembung ketakutan ini? Yaa militer, jadi yang harus memimpin negara ini harus dipimpin orang gagah, tegas dan mempunyai latar belakang militer lah setidaknya.. itu kata para pendukung kubu Prabowo. Bukan kataku. Aku hanya menuliskannya kembali. oke


Jokowi, pemimpin yang membangun sumber ekonomi baru di daerah, pria yang berfokus pada pemanfaatan dan efisiensi potensi Indonesia, ia juga seorang pemimpin yang menerapkan konsep pengusaha dalam memimpin negeri ini. Setiap pemimpin memang punya cara dan gayanya masing-masing dalam melakukan tugasnya. Yaa ada yang bergaya militer, ada juga dengan gaya bak CEO perusahaan ini. Contohnya saja Jokowi menjual BUMN, sempat menuai kritik dari para masyarakat. BUMN kok dijual ke swasta ? itu pendapatan negara lho. Ya bagi presiden yang menerapkan konsep pengusaha ke negerinya ini, ia melihat ketidak efisienan perusahaan milik negara ini. Banyak BUMN yang melakukan usaha yang sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kepentingan negara, dan anak perusahaan-perusahaan kecilnya yang tidak efektif.


Karena ibarat ketidak efektifan di roda suatu bisnis, CEO perusahaan ini menjual perusahaan-perusahaan kecil milik negara. Negara jadi lebih efisien tidak perlu membiayai BUMN kecil tersebut, yang memberatkan negara. Sehingga terciptalah Holding BUMN dimana perusahaan2 kecil milik negara di merger-kan maksud Jokowi guna tercipta efisiensi. Hutang Indonesia sudah turun temurun besarnya belum lagi bunganya, sudah tugas pemimpin generasi berikutnya untuk mewarisi dan melunasi hutangnya.
Sementara bagi kubu lawan politiknya beranggapan, pemimpin yang memenangkan pilpres tahun 2014 ini harus diganti. Mau dengan menebarkan menggunakan isu PKI, atau latar belakang jokowi yang dibilang PKI, karakter dia yang kurang gagah dan planga-plongo, dan masalah personal lainnya. Lawan poltiknya selalu memainkan isu personal, inilah selalu terjadi di Negeri yang berkembang ini. Lebih sering berkutat pada isu personal yang ga ada hubunganya dengan kepentingan publik. Cara berfikr beberapa masyarakat negeri ini lebih mengutamakan latar belakang pemimpnnya, apa agamanya, bagaimana cara dia berbicara ? dari pada mengkritisi kepemimpinan ataupun sistim yang ditawarkan pemimpin tersebut.

 Selalu sibuk membicarakan agama tanpa memperdulikan masalah negara dan cara hidup bernegara yang baik. Di selimuti ketakutan akan suatu hal yang belum terjadi, masyarkatnya terpicu mengenai hal-hal PKI, mempermasalahkan pemimpn yang berbeda agama...suatu ketakutan yang aneh di dalam suatu negara yang padahal masyarakatnya terdiri dari berbagai macam penduduk yang majemuk. Dan rasa insecure yang aneh pula oleh pihak yang merasa agamanya selalu terancam oleh agama lain, atau jika pemimpinya tidak sama dengan agamanya. Padahal agamanya merupakan mayoritas di Negeri ini. Wong penduduk sini yang agamanya minoritas tenang-tenang saja kok, tidak takut agamanya hilang atau punah. 

Sementara mereka yang mayoritas justru selalu ribet, panik, dikit-dikit demo... hei kalian itu mayoritas di negara ini, kok ketakutan terus masalah eksistensi agamamu di negeri sendiri sih?

Perbedaan pandangan poitik tentu biasa terjadi, berdebat di media social membuat hashtags berkampanye membuat mug atau kaos. Yang intinya ingin mengganti atau mengalahkan pemimpin sebelumya yang tidak sesuai dengan kriteria di benak para pendukung lawan politiknya. Tapi melawan dengan menggunakan propaganda ataupun masalah isu personal demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan apakah terlihat keren?. Kalu mau mengganti atau mengalahkan Joko Widodo lawanlah dengan menawarkan sistim yang lebih baik, atau cara pendekatan ke masyarakat yang lebih baik. Sehingga mendapatkan hati dari masyarakat, bukannya menimbulkan ketakutan di dalam masyarakat terkait propaganda tertentu.

Sama seperti saat kita sedang berdebat tentang suatu topik, inti dari bedebat adalah saling mengadu argumen, saling beradu ide, bukannya Ad hominem menyerang kepribadian/karakter lawan debat. Ya jelas keliru wong berdebat itu yang diserang argumentasinya bukan nyerang personil yang mengemukakan argumen, jelas keliru dan gak keren orang yang berdebat tapi sering melakukan Ad hominem.

Seorang Penikmat seni berargumen tentang gaya kepemimpinan Ahok yang disukai, dan pandangan politiknya, lalu seorang pengamat politik berkata “hei kamu kan bukan orang politik, kamu tidak akan ngerti soal politik... ahok itu memang pantas untuk lengser”. Kurang lebih begitu contohnya. Kenapa sang pengamat politik jadi nyerang aspek personil, ketimbang nyerang dengan topik dari perdebatan itu sendiri? huh ga keren.

Ya menurutku sama sih dengan kegiatan pilpres nanti, kalau mau berkampanye tentang calon kandidat yang disukai. Mbok keluarin argumentasi yang bermutu, serang lawannya dengan sistim apa yang bisa ditawarkan dan dapatkan hati masyarakatnya bukan menyebar ketakutan. Ketimbang menyerang dengan isu personil, agama, cara berpakaian yang ga ada hubungannya dengan kewajibannya memimpin negara. Mau Prabowo, Gatot nurmantyo, atau Tomy suharto kek lawannya nanti di pilpres tahun depan lawanlah rival debatmu dengan “mutu argumen yang keren”.

Mengenai pembicaraan di media social tentang mengganti presiden yaa boleh saja tentunya, saya bisa saja juga setuju dengan itu...jikaa muncul kandidat yang lebih baik dari Pak Jokowi kenapa tidak? Jika ada sosok pemimpin yang lebih humanis, bisa memberikan cinta serta mendapatkan cinta ke & dari masyakat negeri ini yaa kenapa tidak ?

Menceritakan beberapa pendapat saya tentang Jokowi, bukan berarti Jokowi is invicible and irreplaceable. Tentu saja pasti akan muncul sosok-sosok pemimpin yang lebih berkualitas di generasi mendatang. hashtags pergantian presiden yang muncul hanya menimbulkan sentimen, belum menawarkan penggantinya seperti apa? Apa yang bisa ia tawarkan sehingga kita harus mengganti pemimpin yang sekarang?

Sama seperti pernyataan ku di awal. Masyarakat yang memilki atau terbiasa critical thinking, memandang suatu masalah tidak subjektif. Hapus tentang siapa tokoh-tokoh calon kandidat tersebut dan melihat dengan objektif, dan melihat kredibilitas dari calon kandidat yang mana yang baik dipilih.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Search This Blog